Setelah sampai di Museum Tekstil dan menjelajahi keberagaman tekstil nusantara di dalamnya, Saya dan pacar merasa kelaparan. Berhubung kami tak tahu tempat makan yang enak, maka penjual tiket museum menjadi sasaran pertanyaan.


Menurut mereka, di samping museum persis, ada sebuah rumah makan, yang menjual sate yang enak dan tak biasa; namanya sate afrika. Tambahnya, sate ini berbeda dengan sate biasa dalam hal penyajiannya; sate ini tidak ditusuk di bambu. Namun yang jadi kendala, 1 porsi sate ini dihargai Rp. 30.000. Karena merasa kemahalan, kami memutuskan mencari tempat makan lainnya; sejenis warteg atau warung-warung pinggir jalan.

Sudah hampir 50an meter lebih kami berjalan, namun kami belum menemukan tempat makan yang cocok (lebih tepatnya, memang jarang ada tempat makan di jalan K.S Tubun itu). Hingga akhirnya kami melihat sebuah papan yang menandakan adanya rumah makan. Kami segera menyeberang jalan menuju lokasi.

Sesampainya di seberang, ternyata rumah makan itu adalah sate afrika! Ya, ini adalah cabang dari sate afrika yang ada di samping museum tekstil. Karena kelaparan, sekaligus penasaran, kami menyerah dan membeli sate itu. Namun untuk menghemat, kami hanya memesan 1 porsi sate kambing dengan 2 nasi. Segera setelah terbeli, kami kembali ke museum dan makan di depan ruang workshop batik.

Begitu duduk, tak sabar kami menyantap sate afrika yang terbungkus kertas coklat. Begitu dibuka, langsung terlihat potongan daging kambing yang berwarna coklat. Hmmmm. Selepas doa bersama, sate pun disantap.



Bersama sate ini ada 3 buah kantung kecil. Satu berisi semacam mustard, 1 berisi kecap dan 1 berisi sambal.

Sate ini seperti sate-sate pada umumnya; berupa potongan daging-daging kambing, serta dibakar. Yang membedakan, pertama, sate ini tidak ditusuk ke batang bambu atau kayu apapun. Kedua, biasanya, sate kambing dibumbui bumbu kecap, namun ini menggunakan kecap dan juga mustard, plus sambelnya. Ketiga, jika biasanya sate ditemani oleh bawang merah dan cabai, sate ini disertai bawang bombai.

Kalau soal rasa, saya tak terlalu bisa komentar banyak, sebab, namanya orang lapar, makanan apapun bisa masuk mulut. Namun, di tengah ketidakhandalan saya dalam menilai enak tidaknya makanan, saya merasa sate ini cukup enak. Dagingnya lembut; walau kadang ada juga yang alot untuk digigit, bumbunya pas, ditambah rasa agak pedas dari bawang bombai. Tapi, saya tak sempat mencoba mustardnya, karena tak tertarik.

Untuk harga, sate ini terbilang mahal. Saya membandingkan dengan sate kambing di dekat rumah, yang hanya seharga Rp. 10.000/ 10 tusuk. Mungkin pembuat sate ini harus membayar royalti kepada Afrika, karena telah mempergunakan namanya sebagai merek. Tapi, 1 porsi sate yang dipesan, tak disangka bisa memenuhi kebutuhan makan kami berdua. Jadi, angka Rp. 30.000, dirasa cukup pas untuk seporsi sate afrika yang bisa dimakan berdua ini.

Setelah sate dan nasi habis disantap, sampah-sampah bungkusan segera dirapikan. Kursi pun juga. Kemudian, ruangan workshop batik menjadi tujuan berikutnya. Kami akan segera belajar membatik!

0 comments

Post a Comment