Setelah sampai di Museum Tekstil dan menjelajahi keberagaman tekstil nusantara di dalamnya, Saya dan pacar merasa kelaparan. Berhubung kami tak tahu tempat makan yang enak, maka penjual tiket museum menjadi sasaran pertanyaan.

Read More......

"Jalan ke surga itu memang tidak mudah, tapi surga itu indah"
Kira-kira, itulah gambaran perjalanan menuju ke sebuah pantai di daerah Banten, Pantai Sawarna. Beberapa teman saya membicarakan tentang Pantai Sawarna, dan saya merasa sangat tersinggung saat mereka membicarakan pantai ini. Pertama, sebagai seseorang yang mencintai pantai, mengapa saya baru mendengar pantai ini dari mereka? Kedua, pantai ini terletak di daerah Banten, yang merupakan kampung halaman Ibu saya.

Akhirnya, untuk melepaskan rasa tersinggung saya, kami memutuskan untuk pergi ke Pantai Sawarna, dan dengan bekal "Malu Bertanya Sesat di Jalan" serta "Tenang, gw kan anak Banten", kami pun memutuskan untuk pergi ke Pantai Sawarna dengan cara ngeteng. Sebelum pergi, saya menugaskan teman saya untuk mencari tahu letak Pantai Sawarna, setelah teman saya memberi informasi tersebut pada saya, maka saya mencari tahu bagaimana cara termudah ke sana. Perjalanan pun, dimulai!

Jumat pagi, saya dan teman-teman saya bertemu di stasiun Tanah Abang. Saya hapal ada satu kereta Merak Jaya dengan rute Tanah Abang - Serang (via Rangkasbitung) yang berangkat pukul 6 pagi. Maka saya titahkan teman-teman saya untuk berkumpul pukul 5.30 pagi di Tanah Abang agar bisa menaiki kereta tersebut. Dengan biaya RP 12,000, perjalanan dengan Kereta Api Merak Jaya memakan waktu sekitar 90 menit. Kereta ekonomi rute Tanah Abang - Rangkasbitung diberangkatkan setiap jam, namun kereta ini akan berhenti di setiap stasiun, serta akan disalip oleh beberapa kereta ekspress, sehingga perjalannya bisa memakan waktu 2,5 - 3 jam atau bahkan lebih.

Sampai di Rangkasbitung, menurut keterangan, kami harus ke daerah Bayah. Hal ini tidak
begitu sulit, karena sejak dulu aku sering melihat mobil ELF yang bertuliskan "Bayah" di depan kacanya. Kami pun kemudian menaiki ELF berwarna Kuning menuju Bayah ini. Tarif angkutan ELF ini Rp. 20,000. Perjalanan yang aku sebut berat pun dimulai. Sebenarnya, perjalanan berat ini dirasakan oleh ELF yang kami tumpangi, hal ini disebabkan jalanan menuju Bayah dari Rangkasbitung rusak total. Jalanan yang mengalami rusak parah adalah perjalanan dari Rangkasbitung - Malimping, sedangkan dari Malimping menuju Bayah, perjalanannya sudah bisa dinikmati dengan jalan yang cukup mulus. Di garis perjalanan ini kita mulai bisa menikmati garis pantai Ciantir. Sepanjang perjalanan kita bisa melihat pantai, pohon kelapa, pokoknya pemandangan yang menyejukkan jiwa. Perjalanan Rangkasbitung - Malimping - Bayah ini memakan waktu kurang lebih 3 jam.

Setelah kami sampai di Bayah, perjalanan ke Desa Sawarna harus ditempuh dengan ojek motor. Mereka memasang harga Rp. 25,000 - Rp. 30,000 tapi tarif yang kami sepakati adalah Rp 15,000 per motor. Perjalanan menuju Pantai ini juga termasuk dalam "jalan ke surga itu memang tidak mudah," namun kali ini dialami oleh motor yang kami tumpangi, serta, supir ojeknya mungkin. Perjalanan 40 menit dengan ojek ini menempuh jalan yang tidak kalah rusaknya dengan jalanan dari Rangkasbitung ke Malimping. Ditambah lagi dengan turunan-turunan curam.

Tapi setelah perjalanan yang tidak mudah itu, kami pun luruh ketika sampai di Desa Sawarna. Kami disambut dengan gapura kecil yang bertuliskan Desa Sawarna. Pedesaan, sawah, udara sejuk, dan yang terpenting pantai, semuanya kami temukan di desa ini. Setelah berembuk, kami pun akhirnya memutuskan menginap di rumah salah seorang warga. Dengan modal bahasa sunda kasar dan modal "abdi teh bumi'na ti Pajagan" (saya tuh rumahnya di Pajagan -desa di Lebak, Banten-) kami bisa bermalam dengan biaya Rp. 50,000 per malam.

Kami pun menikmati liburan ngeteng kami di Desa Sawarna. Bukan hanya menikmati Pantai Sawarna, kami juga berjalan-jalan di pematang sawah, menonton beberapa anak kecil bermain bola, serta menikmati jalan-jalan setapak desa tersebut. Setelah ngobrol dengan warga, ternyata Desa ini telah menjadi Desa Wisata. Sebenarnya di Desa Sawarna ini telah ada sebuah Guest House, yaitu Rumah Husada, yang pemiliknya adalah Bapak Husada sendiri. Guest House ini biasanya ditempati oleh turis-turis lokal dan juga internasional. Biasanya mereka adalah para surfer. Mendengar ceritanya, nampaknya Guest House ini sangat bagus. Tapi, kami tidak menyesal menginap di rumah Pak Daya, karena kami lebih merasakan suasana pedesaannya.

Selain suasana desa dan kekeluargaannya, Desa Sawarna ini memiliki pantai dengan pasir yang sangat indah, ombaknya pun saya yakin menantang bagi mereka yang suka surfing. Garis pantainya terlihat tidak terputus, mungkin sekitar 2 KM. Yang paling indah buat saya adalah sunsetnya. Kami sangat menyesal karena kami berlima hanya bermodal kamera digital, karena kami berlima memang hobby difoto, bukan memfoto, jadi kurang modal untuk memiliki kamera ^^.

Walaupun di atas saya bilang bahwa perjalanan ke surga itu tidak mudah, tapi mungkin saya harus bilang bahwa ada jalan mudah ke surga. Hal ini karena, ketika saya bermain-main di pantai bersama teman-teman saya, saya menyaksikan sebuah pesawat capung mendarat di atas air. Yap, ternyata pesawat capung itu membawa beberapa anak muda (seperti kami) yang ingin liburan. Bedanya, nampaknya jalan mereka lebih mudah untuk ke 'surga dunia' ini. Hehehe.

Huff, hari ketiga!Hari ketiga kami harus meninggalkan Desa Sawarna ini. Pak Daya memberitahu kami angkutan umum dari Bayah menuju Rangkasbitung hanya sampai jam 4 sore. Maka kami tidak bisa berlama-lama lagi bermain di pantai di hari ketiga ini. Kami pun menaniki ojek ke Bayah dan setibanya di Bayah kami harus menunggu ELF menuju Rangkasbitung sampai lebih dari 1 jam. Dari Rangkasbitung kami kembali ke Jakarta dengan kereta api ekonomi.

Jalan ke surga itu tidak mudah, tapi...surga itu indah. Jadi, intinya bila Anda telah tiba di Pantai Sawarna, Anda tidak akan memikirkan perjalan Anda menuju ke sana, Anda hanya akan menikmati suasananya, pantainya, sawahnya, desanya!

Tips:
- Jakarta - Rangkasbitung (naik kereta/bus), Rangkas bitung - Bayah (naik ELF), Bayah - Sawarna (naik Ojek)
- Jakarta - Serang (naik kereta/bus), Serang Bayah (naik ELF), Bayah - Sawarna (naik ojek)
- Jakarta - Cimone, Cimone - Bayah (1 Bus berangkat setiap jam 6 pagi), Bayah - Sawarna (naik ojek)

Read More......

Terkadang pengalaman ngeteng tidak hanya hadir selama perjalanan. Ada juga hal menarik yang muncul ketika perjalanan itu telah sampai di tujuan. Ini ceritanya.

Saya lupa kapan persis kejadiannya. Kalau nggak salah hari Jumat siang hari dan saya baru saja belanja dengan teman saya (hints: inisialnya DN) di daerah kota. Siang itu panasnya lumayan scorching dan bikin energi cepat susut (baca: butuh asupan energi, makan!!). Sepanjang perjalanan kami kelaparan dan menyebutkan makanan yang ingin dimakan. Berhubung kenyamanan berada di dalam Trans Jakarta berbanding terbalik dengan cuaca di luar, kami jadi makin males turun di salah satu shelter yang ada di Kota sampai Blok M untuk turun dan cari makan. Kami memutuskan untuk makan di Blok M karena disana ada foodcourt di Pasaraya yang makanannya lebih beragam dan tempatnya nyaman.

Bus Trans Jakarta sudah merapat di terminal Blok M, tandanya kami harus segera turun dan lanjut cari makan. Begitu turun kami sudah melihat gedung Pasaraya yang kelihatan berdiri tinggi dan jauh sekali dari tempat kami berdiri di bus stop Trans Jakarta, padahal kami sudah sampai di Blok M. Rasanya jauh di mata dan jauh di kaki.

Kami lalu lanjut jalan kaki turun melewati tangga. Tepat setelah menuruni tangga, langkah kami terhenti. Ada warung mie aceh di situ, tempatnya benar-benar nyempil. Untuk restorannya memanfaatkan area kosong di bawah tangga yang baru saja kami turuni. Jadi di bawah tangga ada tangga lagi. Area masak & saji ada di atas, area makan ada di bawah tangga yang ada di bawah tangga. Bingung? Coba aja begini. Naik Trans Jakarta sampai Blok M. Lalu turun dan ikuti jalan. Warung tersebut tepat ada di bawah tangga yang baru saja kita turuni.

Ada perasaan aneh yang muncul ketika berada di warung tersebut karena tepat di atas kepala kita ada bus Trans Jakarta yang melintas. Suara berisik kendaraan, suara orang berbicara, bunyi clang-clang ketika peralatan masak digunakan, pengamen yang menyanyi, bau harum mie yang sedang dimasak, bau manis dari jus timun, orang lalu lalang di depan warung, dan pelayan yang membawa pesanan merupakan sedikit gambaran dari situasi di sana. Dan semua atribut tersebut membuat indera saya jadi makin ON. Rasanya tidak hanya lidah saya yang merasakan makanan. Tapi telinga, mata, hidung, dan kulit juga turut merasakan kondisi di tempat itu. It was a great experience to eat at that kind of place!

Untuk mie harganya sekitar Rp 10.000 - Rp 15.000. Ada roti cane & jala, kari juga ada, tapi saya lupa harganya berapa. Minumnya tentu saja jus timun! Dari beberapa warung mie aceh yang pernah saya coba, warung ini termasuk enak. Masih lebih enak daripada yang ada di sekitaran Depok - Jakarta Timur.

Sudah lama sekali sejak pertama kali saya pergi ke warung ini. Bagi yang ingin mencoba, mau pergi sama-sama dengan saya kesana? ;)

Read More......

Angka di atas bukan nomor buntut togel atau nomor penerbangan tapi jumlah kilometer yang harus ditempuh untuk mencapai the-one-stop-hidden-paradise-in-pangandaran dari Jakarta. Nama tempat itu adalah Batu Karas. Batu Karas adalah nama sebuah pantai di pesisir selatan Jawa Barat. Masih bertetangga dengan pantai Pangandaran dengan jarak 1 jam perjalanan dan merupakan satu tempat unggulan untuk kegiatan surfing.

Ini kedua kalinya saya kesana dan pertama kalinya pergi dengan menggunakan angkutan umum. 'Cuma' tiga kali ganti kendaraan dari Jakarta. Dari kendaraan yang besar dan bisa memuat banyak penumpang, sampai kendaraan yang hanya bisa memuat satu penumpang saja. Dari pemandangan gedung dan bangunan-bangunan tinggi lainnya sampai pemandangan lansekap alam mulai dari gunung, sungai, hingga pantai. It was so terrifically complete so that I called it one stop hidden paradise :)

Saya pergi bertiga dengan kawan dan perjalanan dimulai dari terminal Kampung Rambutan. Kita harus pergi ke bagian terminal luar kota yang menampung bis AKAP. Hati-hati dengan calo. Biasanya mereka langsung mendekati kita dan bertanya kemana tujuan kita bahkan tanpa segan menarik tas kita untuk sengaja membawakan. Ketika itu saya pergi dengan menggunakan ransel besar ala backpacker sehingga sangat menarik perhatian bahwa saya - pastinya - memang akan pergi keluar kota. Tolak saja penawaran para calo tersebut atau tidak usah merespon pertanyaan mereka. Jalan aja terus, ntar calonya juga jadi males sendiri kok. Di pintu masuk, kita akan dikenakan retribusi karena akan memasuki bagian terminal luar kota. Biayanya Rp. 500 per orang. Di dalam terminal akan banyak pedagang makanan dan minuman, bisa mampir sebentar buat makan atau beli perbekalan selama di jalan.

Untuk menuju Batu Karas, kita bisa menempuh 2 rute perjalanan. Bisa melalui Tasikmalaya atau Banjarsari. Menuju Tasikmalaya butuh waktu sekitar 5-6 jam. Merek busnya Budiman dengan biaya Rp. 50.000. Sementara itu menuju Banjarsari butuh waktu sekitar 7-8 jam biayanya Rp. 55.000. Banjarsari memang lebih jauh daripada Tasikmalaya ditambah lagi dengan faktor busnya yang sering berhenti jadi makan waktu lebih lama.

Berhubung perjalanan yang ditempuh akan cukup lama, disarankan untuk memilih bus yang ber-AC dan ada toiletnya. TV ga penting-penting amat lah karena toh nanti di jalan juga tidur. Kebanyakan bus AKAP memang berangkat malam hari sekitar pukul 22.00 - 23.00. Jadi, siapkan diri memang untuk istirahat selama perjalanan. Bawa jaket, air, makanan kecil dan jangan lupa jaga barang-barang pribadi. Pagi hari atau mungkin subuh, biasanya kita akan sudah sampai di terminal kota tujuan. Mungkin bisa di Tasikmalaya atau Banjarsari. Kalau lapar, bisa nyarap dulu cari makan di dalam terminal. Dan sekali lagi, hati-hati dengan calo.

Terminal Tasikmalaya boleh dibilang lebih modern daripada terminal yang ada di Banjarsari. Ada 2 koridor besar yang memisahkan tempat mangkal bus AKAP dan AKDP. Tempatnya juga lebih bersih dan tidak ada pedagang asongan. Di Banjarsari memang lebih tradisional, tapi jangan dibayangin tempatnya masih tanah lapang becek juga..hehehe.. Terminal Banjarsari memiliki beberapa koridor bernomor (biasanya 1-8) dengan keterangan tujuan masing-masing bus. Kalo yang suka naik bus dari terminal Blok M pasti paham dengan pemisahan sistem koridor seperti ini. Koridor pertama busnya nomor sekian sampai sekian dengan tujuan masing-masing dan seterusnya.

Jangan kaget dengan pedagang asongan yang lumayan agresif ketika sudah berada di terminal di daerah Jawa Barat. Ketika sebuah bis datang, mereka bisa langsung serentak menyerbu masuk ke bus untuk menawarkan dagangan. Awalnya lumayan kaget karena di Jakarta pun pedagan asongan tidak seagresif itu. Tapi ya dinikmati saja, it's part of the journey though. ;)

Perjalanan dilanjutkan dengan naik bus 3/4 tujuan Cijulang. Biayanya Rp 20.000 dari Banjarsari. Kalau dari Tasikmalaya Rp. 30.000. Dari sini, perjalanan akan mulai menantang karena waktu perjalanan yang lumayan lama dan medannya wuihh...mantap gan!! Estimasi waktu perjalanan 3 jam dari Banjarsari atau 4 jam dari Tasikmalaya. Selain itu sepanjang perjalanan bisa dibilang gak mulus jalannya kadang rasanya seperti naik roller coaster bahkan kadang bisa terlompat-lompat dari kursi. Hehe.. Soal pemandangan jangan takut! Sepanjang perjalanan kita akan melewati kota yang lumayan old skool, kampung yang rumah penduduknya mepet jalan, sawah, bukit atau bahkan pinggir tebing. Bus akan berhenti di setiap terminal selama 10 menitan untuk menunggu penumpang. Jadi kalo tiba-tiba di tengah perjalanan lapar, tinggal tunggu bus berhenti di terminal berikutnya dan kita bisa makan di terminal tersebut. Bisa minta tungguin juga loh!

Kalau kita pergi dari Jakarta sekitar pukul 22.00 atau 23.00, kemungkinan akan sampai di Cijulang pukul 10.00 atau 11.00 siang keesokan harinya. Setara dengan perjalanan darat dari Jakarta ke Semarang pas mudik lebaran. Lama memang, tapi setelah sekali pergi ke Batu Karas perjalanan yang lama itu pasti ingin kembali dilakukan untuk bisa ke Batu Karas lagi.

Dari terminal Cijulang, perjalanan bisa dilanjutkan dengan naik ojek. Perjalanan cuma 10 menit dengan biaya Rp. 10.000. Tidak ada angkot yang menuju Batu Karas sehingga mau tak mau harus pakai ojek. 10 menit yang mahal... T,T Jangan lupa juga untuk bayar pungutan Rp 1000 di ujung jembatan ke penduduk setempat.

Ada satu hal yang menarik ketika naik ojek menuju Batu Karas. Kita akan melewati jembatan gantung yang melintang di atas sungai Cijulang. Jembatan tersebut sangat sederhana dan dibatasi maksimal 2 motor yang boleh melintas di waktu yang bersamaan. Konon dulu jembatan tersebut pernah putus karena ada 5 motor sekaligus yang lewat sehingga diterapkan aturan tersebut. Its view was so amazing and it's jut beginning. Sepanjang sungai adalah pohon bakau yang bermuara ke Samudera Hindia, bukan Laut Hindia lho...kita sudah di pantai selatan pulau Jawa.

Berhubung Batu Karas adalah daerah wisata, sebelum masuk kita akan ditagih biaya retribusi sebesar Rp. 4000. Kata tukang ojeknya sih biasanya tidak dimintai retribusi, namun karena kita membawa tas ransel yang lumayan besar jadi langsung dikenali sebagai turis. Mana yang benar gak tau juga sih... Tapi ya bayar aja deh daripada ribut.

Batu Karas memiliki beberapa penginapan yang sangat terjangkau. Rate per malam sekitar Rp. 75.000-Rp. 100.000. Tepat di depan penginapan adalah pantai dan kita bisa langsung berenang ataupun sewa papan bagi yang ingin surfing. Kalau mau explore ke tempat lain, coba tanya-tanya lagi penduduk lokal dan siapa tau mereka mau mengantarkan. Batu Karas punya tempat-tempat indah yang tersembunyi dan cuma bisa diketahui dengan bertanya ke penduduk lokal. Soal makan, bisa coba mampir ke warung kang ayi atau coba beli ikan langsung ke nelayan dan bakar sendiri. Anything you want lah.

So I'll see you at Batu Karas okay? Natures call you!! :D

Read More......