Musim libur sekolah sudah dekat tapi saya masih tidak tahu mau jalan-jalan kemana liburan kali ini. Harga tiket pesawat yang sudah melambung tinggi serta bayangan akan terjebak kemacetan sepanjang jalan menuju tempat liburan sudah membayangi benak saya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak pergi terlalu jauh dari ibukota tercinta Jakarta. Muncullah Ciwidey sebagai tujuan jalan-jalan kali ini meskipun sesungguhnya saya sudah pernah pergi ke daerah ini sekitar 5 tahun yang lalu bersama dengan keluarga. Tapi kali ini tentu berbeda, karena saya berencana pergi menuju Ciwidey dengan menggunakan angkutan umum.

Posisi Menentukan Destinasi
Sungguh beruntung saya bertempat tinggal di daerah Lebak Bulus. Terminal bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) Lebak Bulus yang sudah saya akrabi semenjak saya berkuliah di luar kota (baca: Depok) ternyata membuat saya tidak asing lagi dengan nama-nama bis antar kota berikut dengan rute dan tujuannya. Dengan bermodalkan dengkul serta keril, berangkatlah saya menuju Ciwidey.

Hanya dibutuhkan 15 menit berjalan kaki dari rumah, maka tibalah saya di Terminal Lebak Bulus pada pukul 6 pagi. Primajasa AC jurusan Bandung adalah bis yang akan membawa saya memulai perjalanan ini. Tak perlu repot membeli tiket atau takut dikerubuti calo terminal, saya langsung naik ke dalam bis Primajasa ini tanpa khawatir. Layaknya bis kota, uang tiket akan ditagih oleh kondektur di dalam perjalanan nanti.

Perjalanan menuju Bandung memakan waktu kurang lebih 3 jam sampai akhirnya saya tiba di Terminal Leuwipanjang. Dari Leuwipanjang, ada semacam bis kecil (lebih besar dari ELF) yang bisa mengangkut saya menuju Terminal Ciwidey. Setelah sampai di Terminal Ciwidey, ternyata saya masih harus melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkot. Angkot kuning cerah dengan rute Ciwidey-Situ Patengan dengan mudah bisa dikenali keberadaannya. Setelah lebih dari setengah jam berada dalam angkot, sampailah saya di penginapan. Niat awal untuk istirahat sebentar lalu memulai perjalanan ke tempat-tempat wisata nampaknya harus tertunda karena hujan lebat mengguyur Ciwidey. Manusia punya rencana, Tuhan yang menentukan. Akhirnya hari itu saya praktis tidak jadi pergi kemana-mana.

Kawah Putih Pelipur Letih 
Esok pagi, dengan semangat penuh untuk menjelajah wilayah Ciwidey, naiklah saya ke dalam angkot kuning yang sama dengan kemarin. Kali ini, kondisi jalanlah yang sepertinya kurang bersahabat. Ciwidey PaMer alias padat merayap. Setelah terjebak kemacetan Ciwidey saat akhir pekan, sampai juga saya di gerbang utama Wisata Kawah Putih. Dari sana, ada tiga cara untuk mencapai kawah putih yang masih berjarak kira-kira 6Km lagi dari pintu gerbang. Pertama, menyewa semacam bemo atau mobil wisata. Kedua, naik ojek dan yang terakhir tentu saja jalan kaki. Karena saya tidak datang beramai-ramai, maka pilihan pertama tentu tidak mungkin saya ambil. Namun ternyata ongkos naik ojek hampir sama dengan ongkos menyewa mobil wisata. Pemerasan ini namanya. Akhirnya pilihan terakhirlah yang saya ambil. Jalan kaki.

Sungguh di luar dugaan, jalan menuju kawah putih yang menanjak dan berliku membuat saya yang sudah jarang olahraga ngos-ngosan dan mudah capai. Saya beruntung karena ternyata di sepanjang jalan menuju ke kawah disediakan beberapa shelter tempat beristirahat. Akhirnya sampai juga saya di atas! Setelah melahap sepiring nasi goreng dan dua gelas es teh manis, saya langsung menuju ke kawah. Suasana di pinggir kawah putih cukup ramai mengingat saat itu adalah akhir pekan. Namun tiba-tiba hujan kembali mengguyur. Suhu udara yang dingin dan air hujan membuat aroma belerang semakin menyengat dan sempat membuat saya batuk-batuk serta menggigil kedinginan dengan kaki basah.

Setelah hujan reda, saya memutuskan untuk turun saja. Kali ini tidak dengan berjalan kaki, melainkan menumpang mobil wisata yang hendak mengantarkan serombongan turis. Bapak supir yang baik hati ini hanya meminta 5000 rupiah saja sebagai ongkos saya turun ke gerbang utama kawah putih. Sesampainya saya di bawah ternyata aral masih melintang. Hujan lebat mengguyur kawasan kawah putih dan membuat satu-satunya jalan utama itu PaHa alias padat habis.

Setelah hujan reda, lalu lintas tak kunjung lancar. Akhirnya saya terpaksa berjalan kaki kira-kira 3Km dengan kondisi tanah berlumpur sehabis hujan untuk sampai ke penginapan. Cukup kawah putih saja untuk hari ini. Tubuh dan kaki saya benar-benar butuh istirahat.

Situ Patengan dan Pemandian Air Panas Cimanggu
Pagi berikutnya, hati saya melonjak kegirangan melihat jalanan sangat lengang. Tentu saja sepi, karena ini sudah hari Senin. Kembali menumpang angkot kuning yang sama lagi, kali ini saya langsung menuju Situ Patengan. Cuaca yang cerah disertai pemandangan yang menyejukkan dan danau yang menenangkan membuat Situ Patengan menjadi obyek wisata favorit saya dalam perjalanan kali ini.

Sesudah puas memotret di Situ Patengan, saatnya untuk kembali turun ke bawah. Angkot kuning kembali mengantar saya ke tujuan berikutnya, yaitu Pemandian Air Panas Cimanggu. Tidak ada yang istimewa dengan tempat ini. Layaknya pemandian air panas di daerah lain, terdapat kolam permandian umum dan juga bak rendam tertutup yang dapat disewa oleh pengunjung.

Karena saya harus mengejar waktu check out dari penginapan, saya hanya sempat mencelupkan kaki tak lebih dari setengah jam di kolam umum sebelum kembali ke penginapan. Setelah check out, saya kembali menumpang angkot kuning untuk menuju ke Terminal Ciwidey. Seperti ketika berangkat, saya naik bis menuju Leuwipanjang dari Terminal Ciwidey dan kembali menumpang bis Patrajasa eksekutif untuk pulang menuju Lebak Bulus.

Sisi positif trip ngeteng kali ini:
- Dengan kemampuan bahasa sunda pasif, saya mencuri dengar pembicaraan penduduk lokal ketika saya terjebak kemacetan dalam angkot kuning Ciwidey. Ternyata penduduk setempat banyak mengeluhkan kemacetan parah di sana yang selalu berulang setiap akhir pekan. Menurut ibu yang duduk disebelah saya, industri pariwisata Ciwidey yang maju tidak serta merta ikut memajukan ekonomi penduduk setempat. Restoran dan hotel yang menjamur disana lebih banyak dimiliki dan dikelola oleh warga Bandung atau Jakarta. Peduduk lokal tak banyak mendapat bagian. Ini cerita yang saya dengar dari pembicaraan di dalam angkot lho ya...
- Pengalaman menumpang si angkot kuning membuat saya duduk bersama dan sejajar dengan ibu-ibu yang membawa kayu bakar, bapak-bapak yang memangku sayur-sayuran dan mamang-mamang bakso yang hendak pulang seusai berjualan. Kesemuanya bisa saling menyapa di dalam angkot meskipun tidak saling mengenal, termasuk menyapa saya. Betapa egaliternya kehidupan disana.

Sisi negatif trip ngeteng kali ini:
- Hujan deras bukanlah sahabat karib perjalanan ngeteng. Baju basah, kaki kotor dan celana berlumpur bukan hal yang menyenangkan selama perjalanan. Belum lagi kalau tiba-tiba terserang flu akibat kedinginan.
- Daerah Ciwidey yang setiap akhir pekan disemuti oleh pengunjung dan turis yang haus hiburan dan stroberi membuat harga penginapan menjadi mahal. Namun, harga yang dibayarkan tidak sesuai dengan fasilitas dan kondisi kamar yang diharapkan. Maaf, tapi penonton kecewa.

How to get there:
Jakarta (Lebak Bulus) - Bandung (Leuwipanjang) = Bis Primajasa Eksekutif AC Rp 50.000,-
Bandung (Leuwipanjang) - Ciwidey = Bis kecil Rp 6.000,-
Ciwidey - Situ Patengan = Angkot kuning Rp 5000,-

Where to stay:
Pondok Gembyang. Jl. Raya Patengan km.38, Ciwidey. 022-5928998. Harga kamar: Rp 190.000,-. Lokasi strategis, hanya 3Km dari Kawah Putih dan kira-kira 4Km dari Situ Patengan. Harga versus fasilitas dan servis kurang memuaskan. Hotel Abang mungkin bisa menjadi alternatif yang lebih baik.

3 comments

Ini Lalinov.. said... @ February 1, 2012 at 8:43 PM

siap di coba..;)

Unknown said... @ November 29, 2019 at 4:11 PM

Wow gilaa ini blog bener2 yg gue cari dari kemaren2, thank you so much kak πŸ‘πŸ‘

Anonymous said... @ February 6, 2022 at 11:51 AM

Coin Casino Review | No Deposit Bonus
The Coin Casino 코인카지노 νšŒμ›κ°€μž… Bonus. If you want to keep up with the best online casinos with the best bonuses, we've got you covered. If you've already visited our

Post a Comment